logo

on . Hits: 2222

Konsep Nusyuz Perspektif Teori Kosmologi Gender Sachiko Murata

Oleh : 
Nely Sama Kamalia, S.H.I, M.H.

Pascasarjana Al-Ahwal Al-Syakhshiyah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
E-Mail: Nely.Samakamalia99@Gmail.Com

Pengadilan Agama Rumbia

 

Abstrak

Pemaknaan nusyuz konservatif masih kurang menguntungkan kaum perempuan. Nusyuz istri tidak begitu dipopulerkan dalam konsep konservatif tentang nusyuz. Pemukulan kepada istri dengan mengatasanamakan penyelesaian istri nusyuz yang dipahami dari surat an Nisa 34, tidak mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan: (1) Konsep Nusyuz konservatif sangat terpengaruh oleh budaya yang khas patriarki, sebagian penafsir menerjemahkan nusyuz sebagai ketidaksetiaan dan perilaku buruk di pihak istri. Konstruksi hukum nusyuz konservatif tersebut masih mencerminkan penyesuaian fikih timur tengah. Kesenjangan bias gender, seolah olah nusyuz hanya terjadi dari pihak istri. Padahal dalam al-Quran sendiri dinyatakan nusyuz dapat terjadi baik oleh pihak istri maupun suami. Pemaknaan nusyus progresif tersebut dikemukakan pada masa tafsir kontemporer. (2) Menurut Kosmologi Gender Sachiko Murata konsep nusyuz konservatif tidak sejalan dengan tatanan keseimbangan yin yang dalam diri manusia kaena dalam diri manusia baik laki laki maupun perempuan ada kesatuan yin dan yang yang harmoni untuk tercapainya insan kamil, yaitu manusia yang telah mencapai nafsu muthma’innah. Murata menguraikan bahwa jiwa muthmai’innah yang disebut dengan jiwa ksatria, yaitu satu maqam atau posisi dimana terwujudnya kesatuan yin dan yang dalam diri manusia. Sifat manusia dapat meninggi naik mengarah pada dimensi ruhaniyah seperti malaikat dan dapat menurun seperti sifat setan. Sehingga dengan penafsiran yin yang diatas maka bisa disimpulkan bahwa perilaku negatif adalah kecenderungan umum yang yang dimiliki oleh kaum laki-laki dan perempuan.
Keyword: Nusyuz, Gender, Yin Yang, Laki-Laki Perempuan

Pendahuluan

Anggapan tentang nusyuz yang berkembang dalam masyarakat khususnya Indonesia, sudah terpengaruh dengan budaya patriarki yang kental hingga mempengaruhi hukum keluarga, seperti menganggap bahwa yang haram hanyalah istri yang membangkang pada suami (nusyuz), sementara bagi suami tidak ada nusyuz. Salah satu yang bisa merusak ketentraman rumah tangga adalah nusyuz, yang memungkinkan timbul dari suami ataupun istri. Dalam hal definisi saja ada pihak yang mengartikannya nusyuz hanya dari pihak istri seperti al-Thabari dalam kitab tafsirnya mendefinisikan nusyuz sebagai:” sikap meninggi seorang istri kepada suaminya, meninggalkan tempat tidur karena maksiat, menyalahi suaminya pada hal yang seharusnya ditaati, benci, dan berpaling darinya.”[1]

Secara teologis konsep gender dalam Islam berasal dari paradigma bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang sama karena keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang sederajat. Namun secara historis maupun filosofis penciptaan perempuan dengan femininitas dan laki-laki dengan maskulinitasnya memiliki kekhasan masing-masing yang dengannya laki-laki dan perempuan menjadi komplementer sebagaimana wujud makrokosmos yang akhirnya menciptakan keseimbangan.

Prof. Sachiko Murata menguraikan apa makna kesatuan, dan makna dualitas yang berasal dari kesatuan. Dengan menggunakan Asmaul Husna, Sachiko Murata membagi nama nama Tuhan menjadi dua nama keagungan, Jalal (kualitas maskulin), dan nama nama keindahan, Jamal (kualitas feminin) ini menunjukan bahwa Tuhan melalui nama-namaNya, adalah keseimbangan antara Yang Agung, Kuasa, dan sebagai Yang Dekat, Pengasih, Penyayang, Penerima. Menurutnya kualitas yin adalah identik dengan nama nama Keindahan (Jamal, Luthf, Rahmah). Sedangkan kualitas yang identik dengan nama-nama Keagungan (Jalal, Qahr, Ghadab).

Maskulinitas dan feminitas pada tataran manusia masing-masing mempunyai sisi positif dan negatifnya, yang keduanya saling melengkapi. Konsep nusyuz belum memberikan kesempatan setara bagi semua manusia tanpa diskriminasi atas dasar jenis kelamin. Hal ini merupakan problem krusial yang perlu dianalisis karena nusyuz konservatif belum mencerminkan prinsip dasar al Musawah al Jinsiyyah / keadilan dan kesetaraan gender. Oleh karena itu penulis perlu mengadakan sebuah penelitian untuk menganalisis konsep nusyuz ditinjau menurut perspektif Kosmologi Gender.

[1] Al Thabari, Jami’ al bayyan fi tafsir al Qura’an, (Riyadh:Dar al Thayyibah,)  juz.8, 299

Pembahasan

Upaya meningkatkan martabat dan kedudukan perempuan diperlukan berbagai pendekatan, dan salah satunya ialah pendekatan teologis. Karena pendekatan ini sangatlah penting, sebab upaya meningkatkan status dan kedudukan perempuan dalam masyarakat, seringkali dihadapkan dengan persoalan teologis. Sebagaimana nusyuz yang dipahami kebanyakan masyarakat muslim sebagai bentuk pembangkangan yang bersumber dari istri, sehingga mainstream di masyarakat hanya mengenal nusyuz istri. 

Sebagaimana direpresenatsikan oleh ulama masa salaf yakni generasi terbaik dan umat Islam yang terdiri dari sahabat, Tabi’in, Tabi’ut tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada kurun generasi ini. Metode penafsirannya adalah berupa metode penafsiran analitik yang bersifat parsial dan atomistik. Yakni ajaran al-Quran harus dipahami dan ditafsirkan sebagaimana pemahaman umat Islam generasi pertama, yakni pada situasi turunnya al-Quran. Pada masa itu juga berpegang pada makna literar al-Quran. Seharusnya apa yang tekandung di dalam al-Quran hendaknya dipahami sebagai esensi pesan Tuhan yang harus diaplikasikan sepanjang masa.[2]

Menurut Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’, yang dinamakan nusyuz adalah adalah irtifa’ merasa tinggi hati, sehingga tempat yang tinggi dinamakan nasyiz dalam penjelasannya yang dinamakan istri nusyuz adalah keluar dari ketaatan kepada suaminya, tidak tawadhu’ kepada suaminya, tidak memenuhi panggilan suaminya jika dipanggil ke kasur, keluar dari rumah suami tanpa jin, atau tidak mau membukakan pintu.[3] Sementara Imam ar-Raghib berpendapat bahwa nusyuz mengandung makna perlawanan terhadap suaminya, dan melindungi laki-laki lain atau mengembangkan hubungan yang tidak syah. Menurut Sayyid Ahmad bin Umar Syathiri dalam karyanya kitab al Yaqut an Nafis[4] :  Nusyuz secara syara’ adalah keluarnya istri dari ketaatan pada suami, dengan tidak memenuhi hak dan kewajibannya istri pada suami, seperti tidak taat pada suami, tidak mempergauli suami yang maruf, tidak menyerahkan dirinya pada suaminya, tidak menetap di rumah.

Konsep nusyuz konservatif sebagaimana yang telah dikemukakan oleh sebagian ulama tersebut tidak sejalan dengan kosmologi gender Sachiko Murata yang menjelaskan bahwa kualitas feminitas dan maskulinitas lebih diartikan sebagai kualitas perangai, bukan lahiriah yang kasat mata. Kedua kualitas ini ada dalam diri manusia. Menurut penulis konsep nusyuz konservatif tidak menunjukan keadilan gender karena istri dianggap sebagai satu satunya pihak yang menjadi sumber adanya perbuatan nusyuz.

Pemaknaan nusyuz progresif dikemukakan pada masa tafsir kontemporer. Dimana yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer adalah memposisikan al-Quran sebagai kitab petunjuk, bernuansa hermenetis, kontekstual dan beroerientasi pada spirit al-Quran, ilmiyah, kritis, dan non sekterian. Diantaranya mufassir pada masa ini adalah Hamka dalam tafsir al Azhar, Aminah Wadud, Fazlur Rahman, dan lain sebagainya. Mereka memberi makna nusyuz sebagai terjadinya disharmonisasi / keretakan dalam rumah tangga.[5]

Penilaian dan pandangan mengenai nusyuz yang ‘berat sebelah’ dalam arti lebih terkesan merugikan dan memojokkan kaum perempuan serta membela dan melindungi kaum laki-laki perlu diluruskan. Bahwa nusyuz dapat terjadi dan dilakukan kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan, dengan demikian kesan selama ini bahwa nusyuz merupakan ‘monopoli’ kaum perempuan hendaknya dihilangkan. Dalam penyelesaian nusyuz pada dasarnya kedua belah pihak suami istri harus dapat berperan aktif untuk dapat terciptanya rekonsiliasi diantara mereka sendiri.  

Dalam kedudukan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan al-Quran surat al Baqarah ayat 187 :

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ 

Artinya:    “Mereka (perempuan) itu pakaian bagimu (laki-laki), dan kamu (laki-laki) adalah pakaian bagi mereka.

Dari isyarat ayat ini, sebenarnya keberadaan laki-laki dan perempuan, tidak saling mengungguli satu sama lain, melainkan saling melengkapi, menggenapkan satu sama lain ini artinya eksistensi kemanusiaan dari dua jenis kelamin itu, laki-laki dan perempuan tidak ada yang saling mendominasi. Ini persis seperti yang diungkapkan oleh filosof Muslim, Ibnu Arabi, yang dikutip oleh Sachiko Murata dalam The Tao of Islam: “kemanusiaan adalah suatu realitas yang mencakup kaum laki-laki maupun kaum perempuan, sehingga kaum laki-laki tidak mempunyai tingkat yang lebih tinggi daripada kaum perempuan dalam hal kemanusiaan[5] Tujuan hukum Islam pada dasarnya adalah kemaslahatan manusia, sehingga hukum Islam mencoba mempromosikan maslahah dan mencegah mafsadat untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akherat.

[2]Nur Wahidah, dkk, LKTI, Dakwah Berperspektif Gender: Reinterpretasi Konsep Nusyuz dalam al-Quran ,IAIN Jember, 2016, 4.

[3] Imam Abi Zakariya Muhyiddin Bin Syaraf An Nawawi, Al Majmu’ Syarach Al Muhadzab, juz 9, 125.

[4] Sayyid Ahmad bin Umar Asy Syathiri, al Yaqut an Nafis, (Tarim: Haramain, 1368 H).

[5] Nur Wahidah, dkk, LKTI, Dakwah Berperspektif Gender: Reinterpretasi Konsep Nusyuz dalam al-Quran, IAIN Jember, 2016, 4

[6] Agus Purwadi (ed), Islam dan Problem Gender, (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), xi.

Untuk artikel selengkapnya, silakan dapat mengunduh di bawah ini :

File Artikel

Add comment


Security code
Refresh

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Rumbia

🏢 : Jl. Poros Bombana - Kendari Desa Lantowua, Kec. Rarowatu Utara, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. 93771
📠 : (0401) 3088873
📱 : 0821-3336-2051
📥 : pengadilanagamarumbia@gmail.com
🎥 : Pengadilan Agama Rumbia
 : pa-rumbia.go.id

Sosial Media