Ketika Suami Mengucapkan Talak di Luar Sidang Pengadilan
DITULIS OLEH Drs. H. Nur Mujib, M.H.
Hukum keluarga bagi ummat Islam di Indonesia sudah menjadi hukum positif karena telah diundangkan dengan Undang Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 (UUP), oleh karena itu hukum perkawinan ini disamping bersifat diyani juga sudah menjadi bersifat qadha’i. Kalau terjadi sengketa dalam hukum keluarga perlu ada kekuasaan negara untuk mengadilinya, dalam hal hal ini Pengadilan Agama. Keberlakuan hukum perkawinan dalam UUP ini tergantung ketaatan masyarakat Islam Indonesia dan kekuasaan Negara untuk menegakkannya berada di Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama (PA).
Rifyal Ka’bah dalam bukunya Penegakan Syariat Islam di Indonesia menyatakan, “Hukum Islam dapat diklasifikasikan kepada yang bersifat diyani (keagamaan) dan qadha’i (yuridis). Hukum Islam seluruhnya bersifat diyani, tetapi hanya hukum Islam yang bersifat qadha’i saja yang membutuhkan kekuasaan Negara untuk menegakkannya”. Hukum Islam yang bersifat diyani sangat mengandalkan ketaatan individu yang menjadi subyek hukum. Hukum Islam yang bersifat diyani seperti hukum-hukum dalam bidang ibadah, shalat, zakat, puasa dan haji. Sedang hukum Islam yang bersifat qadha’i antara lain adalah hukum-hukum dalam bidang hukum muamalah, hukum keluarga dan hukum pidana. Dalam sengketa jual beli (ekonomi syari’ah) dan perselisihan suami isteri dalam berumah tangga perlu adanya campur tangan Pengadilan untuk mengadilinya.
Pasangan suami isteri akan selalu mengharapkan kehidupan rumah tangganya dalam keadaan bahagia, lahir dan bathin. Rumah tangganya akan selalu aman, rukun dan damai, dalam suasana sakinah mawaddah wa rahmah. Itu idealnya. Harapan rumah tangga yang bahagia itu sering terwujud akan tetapi juga sering tidak terwujud. Itu semua tergantung bagaimana pasangan suami isteri dalam mengelola rumah tangganya. Tergantung bagaimana suami isteri berinteraksi dalam kehidupan rumah tangganya. Adakalanya rumah tangga itu diwarnai oleh canda tawa semua anggota keluarga. Tetapi adakalanya rumah tangga itu diwarnai oleh perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri.
Ketika terjadi suasana perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri, terkadang suami terlanjur mengucapkan “kutalak engkau” atau “kucerai engkau”. Setelah mengucapkan kata-kata kutalak engkau itu, suami dan isteri kemudian tersadar. Suami sadar kalau sudah menjatuhkan talak terhadap isterinya dan isterinya sadar kalau sudah dijatuhi talak oleh suaminya. Kemudian terjadilah kebimbangan diantara suami isteri itu. Apakah talak yang diucapkan suami itu jatuh ataukah tidak jatuh?. Suami isteri itu sendiri saling menyesal mengapa hal itu terjadi, padahal mereka masih saling menyayangi. Apakah talak yang diucapkan di luar sidang PA itu jatuh?, maka sangat diperlukan campur tangan Pengadilan untuk mengadilinya.
Masyarakat Islam Indonesia adalah masyarakat yang patuh terhadap ajaran agama yang diperoleh melalui kajian kitab kuning atau yang diajarkan oleh para ulama yang sumbernya juga dari kitab kuning. Sementara itu ada juga aturan yang dibuat oleh Negara berupa peraturan perundang-undangan, hukum Islam yang bersifat qadha’i, yang kita sebut fikih ala Indonesia. Hukum Islam yang bersifat qadha’i yang sudah masuk dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah UUP. Untuk itu akan kita kaji talak di luar sidang itu secara fikih kitab kuning dan secara fikih ala Indonesia (UUP).
Dalam kajian fikih kitab kuning, sebagaimana dinyatakan al-Mahalli dalam kitabnya Syarh Minhaj at-Thalibin bahwa talak adalah “Hillu qoyid an-nikahi bi lafdz thalaq wa nahwihi”, pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. Talak adalah hak mutlak suami. Talak dianggap sah apabila dijatuhkan secara sadar oleh suami yang berakal dan baligh. Ketika talak sudah diucapkan oleh seorang suami terhadap isterinya, maka seketika itu jatuhlah talaknya. Maka suami isteri itu menjadi bercerai. Tak ada keharusan untuk berurusan dengan Pengadilan. Perceraian secara kitab kuning ini tidak mengharuskan ada bukti tertulisnya. Suami isteri itu berpisah begitu saja. Oleh karena itu di kalangan Syiah Imamiyah berpendapat bahwa talak itu harus diucapkan di depan 2 orang saksi, kalau talak tidak diucapkan di depan 2 orang saksi, talaknya tidak sah. Berbeda dengan Jumhur ulama, berpendapat, karena talak ini hak suami, maka kapan saja talak itu dijatuhkan hukumnya sah, baik ada saksi ataupun tidak ada saksi.
Maka campur tangan Pengadilan untuk mengadilinya. dalam fikih ala Indonesia, seorang suami yang akan mentalak isterinya harus meminta izin ke PA, bahwa ia akan mengikrarkan talaknya terhadap isterinya. Talak bukan menjadi hak suami mutlak, tetapi sebagian sudah diambil oleh negara, dalam hal ini oleh PA. Suami yang akan mentalak isterinya harus mengajukan permohonan ikrar talak kepada PA disertai dengan alasannya mengapa ia akan menjatuhkan talak terhadap isterinya. Setelah melalui proses persidangan, kalau permohonannya dikabulkan oleh PA, maka ia akan dipanggil untuk menghadap di persidangan guna mengucapkan ikrar talak terhadap isterinya itu. Kalau permohonannya ditolak oleh PA, maka ia tidak dapat mengucapkan ikrar talaknya terhadap isterinya. Kalau permohonannya ditolak oleh PA ia berhak mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Agama sampai kasasi di Mahkamah Agung.
Negara sudah mengatur sedemikian rupa tentang hukum keluarga termasuk di dalamnya tentang perceraian. UUP dalam pasal 39 ayat (1) menyatakan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) bunyi pasal 39 ayat (1) UUP itu disalin persis bunyinya dalam pasal 115. Perceraian, baik atas kehendak suami atau atas kehendak isteri harus dilaksanakan di depan sidang PA. Tidak ada perceraian di luar sidang PA. Jadi kalau permohonannya ditolak oleh PA, maka suami tidak bisa menjatuhkan talaknya.
Kalaulah terjadi sebagaimana diuraikan diatas, bahwa dalam suatu perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri kemudian suami mengucapkan talak terhadap isterinya, misalnya ku talak engkau, maka menurut fikih kitab kuning, talaknya sudah jatuh, tetapi kalau menurut fikih ala Indonesia, talaknya tidak jatuh.
Dalam mengikuti aturan agama, secara berurutan, kita wajib taat kepada Allah (al-Qur’an), taat kepada Rasulullah (as-Sunnah) dan taat kepada Pemerintah (Peraturan perundang-undangan). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 59 : “Yaa ayyuhalladzina aamanuu ‘atiiullah wa’atiiu ar-rasul wa ulil amri minkum, Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
Ketaatan kepada Pemerintah oleh Allah disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasulullah. Oleh karena itu sangat penting bagi warga negara, disamping taat kepada Allah dan RasulNya, juga taat kepada aturan Negara. Salah satu aturan Negara yang berlaku bagi ummat Islam adalah UUP yang dalam salah satu aturannya mengatur tentang perceraian, yang harus dilakukan di depan sidang PA. Dalam hal ini talak tidak boleh dijatuhkan disembarang tempat, tetapi harus dijatuhkan di depan persidangan PA. Kalau diucapkan di luar persidangan PA, berarti tidak jatuh. Apakah pendapat semacam ini tidak bertentangan dengan fikih.
Tentu saja jawabnya tidak bertentangan. Sebab para Ulama dan Kyai yang tergabung dalam DPR sewaktu merumuskan UUP telah berijtihad sedemikian rupa, sehingga UUP, bagi ummat Islam tidak bertentangan dengan hukum Islam. Para ulama dan Kyai telah memasukkan hukum Islam dalam bidang perkawinan untuk ummat Islam Indonesia ke hukum yang bersifat qadha’i dalam kontek perundang-undangan di negara Indonesia. Dengan adanya ketentuan yang mengatur bahwa talak harus diucapkaan di depan sidang PA, maka talak yang diucapkan oleh suami di luar sidang adalah tidak jatuh.
Dengan berlakunya ketentuan UUP tersebut seharusnya tidak ada lagi pertentangan di tengah-tengah ummat Islam bahwa talak diluar sidang PA adalah tidak jatuh. Keberlakuan pendapat ini adalah didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi: “hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf, peraturan perudang-undangan yang dibuat Negara bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat”. Dengan demikian karena sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan bahwa talak harus diucapkan di depan sidang PA, maka perbedaan pendapat di tengah masyarakat tentang jatuh tidaknya talak di luar sidang harus berakhir. Bahwa talak yang diucapkan di luar sidang PA tidaklah jatuh. Wallahu a’lam bisshawab.